Pages

Sample text

Sample Text

Sabtu, 31 Agustus 2019

Pengalaman "GAGAL" Kuliah di Jerman


Ketika banyak orang meceritakan bagaimana dia bisa berhasil akan sesuatu, saya disini mau menceritakan pengalaman atas gagalnya sesuatu yang saya impikan dan lakukan untuk mencapai impian itu yang mungkin bisa jadi pembelajaran.
Pada tahun 2013 saat saya melaksanakan pengabdian di kota Kediri untuk menyelesaikan kewajiban sebagai santri dan mendapatkan ijazah, saya berencana untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Negara yang terbayangkan saat itu adalah China, kenapa? Karena sebuah kalimat “tuntutlah ilmu sampai ke negeri China“. Kalimat itu membuat saya penasaran akan negeri itu dan ingin rasanya belajar disana untuk mengungkapkan kenapa harus negara itu?.
Setelah mencari informasi untuk belajar kesana sepertinya cukup sulit, dalam prosesnya mama saya yang membantu mencari informasi ini mendapatkan informasi dari sebuah agen studi tentang studi di Jerman. Setelah mengikuti seminarnya saya cukup tertarik atas negara ini dan akhirnya saya berencana  untuk melanjutkan studi kesana.
Untuk kuliah disana memang membutuhkan biaya yang cukup mahal, namun yang menjadi pertimbangan adalah biaya kuliah disana gratis yang dibiayai pemerintah Jerman sedangkan untuk biaya hidup, sebagai mahasiswa bisa kerja paruh waktu dan cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari disana. Namun modal untuk persiapan dan berangkat kesana cukup memerlukan biaya yang banyak. Alhamdulillah, karena saya anak pertama dan kebetulan orang tua punya cukup tabungan untuk ini maka saya mantapkan niat untuk bisa melanjutkan studi kesana.
Setelah menyelesaikan pengabdian dan mendapatkan Ijazah serta berkas-berkas untuk melanjutkan studi, saya mendaftar ke sebuah agen untuk melakukan persiapan itu. Ya salah satu syaratnya adalah bahasa Jerman dengan minimal level B1 (A1-A2-B1-B2-dst). Akhirnya saya pun fokus untuk belajar bahasa ini dengan didampingi guru. Setiap hari yang saya lakukan hanya belajar bahasa Jerman di kantor agen ini dan pastinya juga belajar di rumah. Biasanya yang belajar disini mereka sudah mulai belajar saat SMA dan lanjut belajar intensif 3 bulan hingga 1 tahun.
Untuk belajar bahasa, hal yang perlu ditemukan adala pola nya. Jika sudah menemukan pola bahasa tersebut maka tidak lah sulit untuk mempelajarinya. Sebelumnya saya sudah belajar bahasa Inggris dan Arab kemudian saat belajar bahasa Jerman saya kaitkan bagaimana saya belajar kedua bahasa sebelumnya. Tidak sampai 1 bulan saya pun menemukan pola bahasa ini dan sangat cukup mempermudah mempelajari bahasa baru ini. Akhirnya dalam waktu 1 bulan saya bisa lulus level A1 dan hampir 2 bulan bisa lulus A2. Dalam perjanjian dengan agen studi ini, jika sudah lulus level A2 maka sudah bisa diurus untuk melakukan pendaftaran studi dan level B1 akan dilanjutkan kursus di negara sana langsung.
Sebelumnya, saya mau sedikit menjelaskan sistem pendidikan di Jerman. Perbedaan sekolah sebelum ke perguruan tinggi di Indonesia dan Jerman berbeda, jika di Indonesia membutuhkan 12 tahun maka di Jerman 13 tahun. Perbedaan sistem ini membuat suatu sistem baru untuk calon mahasiswa yang berasal dari negara yang berbeda sistem yang mengaharuskan calon mahasiswa belajar 1 tahun sebelum kuliah. Studienkolleg atau disingkat studkol, begitulah menyebutnya dan semua calon mahasiswa yang berasal dari negara seperti Indonesia harus menempuh pendidikan ini dulu sebelum melanjutkan ke perguruan tinggi. Studienkolleg ini ditempuh dalam waktu paling cepat 1 semester atau setengah tahun dan maksimal 2 tahun. Jika tidak bisa lulus hingga 2 tahun maka peserta tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi di Jerman dan jika tidak lulus mau tidak mau harus pulang ke negara asalnya. Untuk bisa masuk ke studkol ini pun nilai ujian akhir tidak mempengaruhi kecuali beberapa jurusan seperti kedokteran tapi secara umum untuk bisa masuk ke studkol peserta harus bisa lolos tes masuknya. Yang diuji dalam tes masuk ini hanya 2 mata pelajaran yaitu bahasa Jerman dan matematika dasar. Untuk bisa mengikuti tes ini pun peserta harus mendapatkan undangan tes dari studkol nya dan untuk bisa mendapatkan undangan tes ini peserta harus mengirimkan berkas-berkas yang diperlukan ke stdukol ini. Jadi studkol ini seperti lembaga sendiri tapi biasanya dibawah sebuah perguruan tinggi. Jika sudah lulus masuk stdukol dan bisa lulus hingga maksimal 2 tahun, kebanyakan perguruan tinggi tidak memerlukan tes masuk lagi namun hanya memerlukan hasil tes kelulusan dari studkol ini. Nilai dari studkol ini lah yang menjadi pertimbangan perguruan tinggi dapat menerima calon mahasiswa atau tidak. Perguruan tinggi di Jerman pun ada 2 jenis yaitu Universitaet dan Hochschule, jika di Indonesia mungkin universitas dan sekolah tinggi. Namun di Jerman kedua lembaga itu setara dan perbedaannya universitaet itu lebih ke teori dan hochschule lebih ke praktek, kurang lebih seperti itu. (Jika salah atau kurang mohon maaf dan bagi yang lebih paham mohon bisa merevisi atau menambahkan)
Awalnya, saya berniat untuk mengambil jurusan teknik disana tepatnya teknik industri karena saat itu saya belum tau betul tentang diri saya, hanya mengikuti tren-tren saja. Namun seiring berjalannya waktu, diri saya ini lebih ke jurusan sosial dan saya pun memutuskan untuk mengambil bisnis manajamen atau sejenisnya.
Setelah lulus level A2 tadi, saya pun mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk mendaftarkan ke stdukol bersamaan dengan itu saya melanjutkan untuk belajar level selanjutnya yaitu B1. Akhirnya saya pun sudah bisa mengurus pendaftaran ke studkol dan hal-hal yang dibutuhkan untuk pengurusan visa pelajar. Sambil menunggu proses itu selain belajar dengan agen tersebut saya pun mengisi luang dengan mengambil kelas di Goethe, salah satu lembaga pusat pembelajaran bahasa Jerman yang resmi dimiliki negara tersebut. Perlu diketahui juga sertifikat bahasa yang diakui oleh negara Jerman hanyalah dari lembaga ini jika di indonesia, terus bagaimana dengan lembaga agen yang saya belajar disana selama ini?. Agen saya ini memiliki kerjasama dengan salah satu lembaga yang ada di Jerman, itulah mengapa level B1 harus dilanjutkan disana agar sertifikat bahasanya diakui untuk mendaftarkan di stdukol. Sedangkan level A1 dan A2 yang dipelajari disini hanyalah persiapan untuk bisa melanjutkan level B1 disana.
Setelah mendapatkan undangan tes di salah satu studkol disana, saya pun mengajukan pembuatan visa pelajar di kedubes dan didampingi perwakilan dari agen ini. Setelah itu selesai lah saya mengurus pengajuan visa di kedubes Jerman. Proses pembuatan visa biasanya 2 minggu hingga 1 bulan dan belum sampai sebulan akhirnya keluarlah hasil pengajuan visa tersebut dan cukup menyedihkan karena dari belasan yang mengajukan visa ada 2 visa yang ditolak, salah satunya termasuk visa saya. Kurang paham apa alasan kedubes menolak visa saya, namun setelah itu saya dibantu agen untuk mengajukan banding visa ini dan akhirnya saya harus menunggu lagi untuk keputusan pengajuan visa ini.
Agak sedikit down dengan keputusan ini tapi ya mau bagaimana lagi, karena keputusan ini merupakan keputusan dari kedubesnya. Waktu menunggu visa ini jauh lebih lama dibanding saya harus bisa lulus dari kursus bahasa. Sambil menunggu saya tetap belajar bahasa ini namun sudah hampir setahun saya berproses disini dan belum ada kepastian atas pengajuan visa saya.
Akhirnya masa-masa pendaftaran perguruan tinggi di Indonesia sudah datang sedangkan keputusan visa masih belum ada kabarnya alias menggantung. Saya pun tidak mau mengorbankan masa depan saya dengan menunggu, akhirnya dengan waktu yang mepet saya belajar untuk mempersiapkan tes di PTN. Karena waktu yang sangat singkat sedangkan dalam 1 tahun terakhir yang saya pelajari adalah bahasa Jerman dan Matematika sedangkan tes masuk PTN terdiri dari beberapa mata pelajaran yang belum saya pelajari. Akhirnya darisemua tes-tes itu tidak ada yang lolos satu pun. Saya pun mencari peluang-peluang yang bisa menjadi kesempatan untuk bisa masuk ke PTN sambil menunggu ketidakpastian visa tadi. Ada sebuah program di UGM yaitu program Internasional dan untuk tes masuknya hanya tes bahasa inggris, TPA bahasa inggris dan wawancara. Melihat peluang itu saya pun mempersiapkannya dan beralih dari belajar bahasa Jerman dan fokus ke bahasa Inggris dalam waktu kurang dari 1 bulan. Karena spp yang cukup mahal untuk program ini, yang sebelumnya saya mau ambil jurusan Hubungan Internasional akhirnya saya memutuskan untuk mengambil jurusan Pariwisata karena spp nya yang paling rendah diantara jurusan lainnya walaupun sebenarnya cukup mahal jika dibandingkan dengan program regular. Saya pun daftar untuk tes ini di gelombang terakhir yang diadakan kurang dari sebulan pada saat itu, yang pasti didukung penuh oleh orang tua. Untuk mepersiapkan tes ini pun saya ngekos dan ikut bimbel selama kurang lebih 2 minggu di Jogja. Awalnya saya tidak cukup siap untuk tes ini karena persiapan yang sangat singkat dan disitu pun saya merasa ada sedikit harapan untuk bisa lolos tes ini. Selain mendaftar di program ini, saya juga mendaftar tes di program internasional jurusan Hubungan Internasional di UMY.
Masa tes pun tiba, tepatnya hari sabtu adalah waktu tes di UGM dan minggu di UMY. Setelah melakukan tes di UGM saya cukup optimis untuk bisa lolos selain karena saya cukup bisa menjawab soal-soal dan juga wawancara, pesaingnya pun sedikit hanya kurang dari 20 orang. Hal ini yang membuat saya cukup optimis, kemudian tes di UMY pun saya bisa melakukannya dengan lancar karena walaupun program internasional tesnya sama dengan program regular dan hanya melakukan tes TPA. Kurang dari satu minggu setelah tes tersebut tepatnya hari rabu, hasil tes di UMY sudah diumumkan dan Alhamdulillah dinyatakan lolos dan dua hari kemudian di hari Jumat hasil tes di UGM di umumkan dan Alhamdulillah juga dinyatakan lolos. Dari kedua program tersebut saya pun memutuskan untuk memilih UGM walaupun sebenarnya saya kurang paham terkait jurusan Pariwisata ini. Saya mengambil jurusan ini karena cukup tertarik dengan mata kuliah yang akan dipelajari di jurusan ini.
Ya akhirnya saya resmi menjadi mahasiswa UGM, walaupun tidak jadi kuliah di Jerman setidaknya saya bisa kuliah di salah satu PTN favorit di Indonesia dan ini cukup memuaskan hati dan diri ini. Kemudian bagaimana nasib visa saya? Ya masih belum ada kabar bagaimana hasil pengajuan visa Jerman itu. Karena sikap agen yang sepertinya kurang peduli, saat kuliah di UGM mama saya pun membuat surat yang diajukan ke Ombudsman untuk menggugat agen ini karena sikap acuhnya. Setelah mengajukan surat tersebut dan kebetulan kantor pusat dari agen ini ada di Jogja, saya pun di panggil ke kantornya dan status visa saya pun ditelusuri. Cukup mengejutkan karena ternyata visa saya sudah keluar dan diterima dari beberapa bulan lalu. Hal ini cukup membuat bimbang apakah saya harus meneruskan kuliah di Jogja atau lanjut berjuang untuk kuliah di Jerman.
Setelah berdiskusi dengan pihak agen akhirnya saya diputuskan bisa berangkat ke Jerman dan kebetulan waktu keberangkatannya pada saat libur semester. Saya pun akhirnya berangkat ke Jerman dan menghabiskan waktu libur semester disana dengan belajar bahasa Jerman kembali, selain itu juga saya mendapatkan surat undangan untuk tes di salah satu studkol. Keputusan untuk lanjut disana atau lanjut kuliah di UGM sepenuhnya diserahkan ke saya dan orangtua hanya menyarankan untuk yang terbaik. Saya pun memutuskan untuk tidak melanjutkan tes disana dan kembali setelah kurang dari satu bulan belajar di kota Heidelberg. Kemudian saya kembali lanjut kuliah di UGM dengan berbagai pertimbangan.
Gagal kuliah di Jerman? Iya, namun saya tidak menyesal dengan kegagalan itu. Dari kegagalan itu pun banyak hikmah yang bisa saya ambil. Allah tau yang terbaik buat saya dan mungkin jika saya melanjutkan disana belum tentu saya bisa menyelesaikanya, bahwa memang Allah tau yang terbaik buat saya dan kuliah disana mungkin bukanlah yang terbaik buat saya dan bisa jadi akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan jika kita memaksakan.
Hal ini mengajarkan saya bahwa kegagalan sesungguhnya itu bukanlah sesuatu yang kita tidak bisa mencapainya, melainkan diam dan pasrahnya kita setelah kegagalan yang kita lalui, namun saya merasa bahwa saya bisa melalui kegagalan itu dengan terus bergerak dan berproses untuk mencapai pintu-pintu kesuksesan lainnya. Selain itu, hal ini juga mengajarkan bahwa kita harus selalu terus berencana dan berusaha untuk melakukan hal-hal yang kita rencanakan, walaupun sejatinya kita sebagai manusia hanya bisa berencana dan berusaha, karena hasil akhir hanya Allah lah yang menentukan dan sebaik-baiknya rencana hanyalah rencanaNya.

 
Blogger Templates